Jalan-jalan Wamena (01) : Festival Lembah Baliem
Syahdan, jangan bilang pernah ke Papua kalau belum menginjakkan kaki di Wamena. Wamena adalah Papua yang sesungguhnya. Itu pepatah yang diucapkan hampir semua orang yang pernah ke Wamena. Baik wisatawan, pendatang maupun penduduk asli. Setelah saya sendiri berwisata ke Wamena, saya setuju dengan pepatah itu. Jayapura dan Merauke, dua kota yang sudah saya kunjungi di Papua, jauh dari kesan Papua. Bukan karena di dua kota itu sudah banyak pendatang karena di Wamena pun pendatang sudah sangat banyak dan bahkan sudah sampai ke pelosok. Tetapi karena tradisi dan kehidupan orang Papua masih sangat terasa di Wamena.
Edisi kali ini adalah edisi sengaja ambil cuti untuk berwisata memenuhi hasrat hati melihat Festival Lembah Baliem. Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) Tahun 2017 berlangsung dari tanggal 8 Agustus sampai dengan 11 Agustus 2017. 3 hari berupa festival dan hari terakhir berupa pawai karnaval di pusat kota Wamena. Inilah kisahku yang sangat berkesan berwisata di Lembah Baliem.........
Festival Lembah Baliem
Ini konon festival budaya adat tertua di Indonesia. Saya tidak tahu maksudnya tetapi saya iya kan saja lah. Yang jelas festival ini menyedot ribuan wisatawan dan yang paling banyak malah dari manca negara. Akibatnya, saat festival tidak ada kamar hotel tersisa di Wamena. Malah saya mendengar beberapa turis dan crew televisi menginap di cargo bandara. Entah benar atau salah tetapi jelas sangat masuk di akal. Bule-bule malah memang sengaja menginap di Honai, rumah khas Papua dan memang ini sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun.
FBLB diisi dengan acara demontrasi perang dan pertunjukan tari tradisional yang ditampilkan oleh masing-masing distrik di Wamena. Ada sekitar 40 distrik yang tampil selama 3 hari dari jam 11 sampai dengan jam tiga sore. Ditambah dengan lomba karapan babi dan bakar batu (yang hanya kecil saja), menjadi lengkap sudah kedatangan kita ke lembah yang sudah nge-top di luar negeri. Ada juga ekspo yang menjual cindera mata, walaupun ternyata lebih murah beli di kota Wamena, tetapi menurut saya disini lebih beragam. Jadi yang mau belanja oleh-oleh kerajinan tangan sebaiknya melihat dulu yang di kota baru ke ekspo. Ada juga yang membuka makanan umum tetapi dimasak dan disajikan ala Papua. Saya mencicipi nasi gorengnya. Tidak mengecewakan walaupun juga tidak istimewa. Banyak juga yang menjual kopi Wamena. Kopi Wamena beda dengan kopi yang berasal dari timur, yang pada umumnya berjenis robusta sedangkan kopi Wamena berjenis arabica tetapi tidak terlalu berasa asam.
Anda bisa berkeliling, walaupun hal ini tidak diperbolehkan oleh panitia tetapi dilanggar oleh para wisatawan, ke honai-honai peserta yang dipersiapkan panitia untuk bersiap-siap sebelum tampil. Umumnya Anda bebas mengambil foto peserta yang sedang berkumpul, beristirahat, menari atau melakukan berbagai aktivitas lainnya. Tetapi Anda pun harus bersiap dengan uang sepuluh ribu dan bahkan lebih jika Anda berfoto dengan seseorang, terutama mama-mama yang juga membawa anaknya. Tidak apa-apa, jumlah yang dikeluarkan sangat sebanding dengan kepuasan yang Anda rasakan. Plus Anda ikut membantu perekonomian Papua yang memang membutuhkan dana besar untuk hidup.
Ada enam mummy yang bisa dilihat di Wamena. Yang satu tidak jauh dari kota, yang lainnya cukup jauh. Kami memilih yang dekat-dekat saja dan memang ini yang paling terkenal. Dekat dan satu jalan dengan pasir putih dan mata air garam. Sayangnya ternyata mata air garam perlu persiapan dan sepatu gunung karena jalan terjal menanjak plus licin. Untuk melihat mummy ini ternyata butuh pengaturan khusus. Juga dana yang cukup besar tentunya. Untuk mengeluarkan mummy dari honai yang dibuat khusus untuk menyimpan, mereka meminta tiga ratus ribu rupiah. Untuk sekali pemotretan, satu orang, sepuluh ribu. Karena kami satu rombongan yang cukup besar sehingga kesulitan untuk menghitung berapa total pemotretan, akhirnya disepakati mengambil paket satu setengah juta rupiah.
Ada yang cukup mengejutkan saat pertama kita memasuki kampung ini. Begitu melihat ada tamu yang datang, mereka dengan sigap berganti pakaian memakai baju adat, menggelar dagangan di sepanjang jalan, dan mengerubungi kami bersiap untuk difoto. Saat difoto, satu hal yang harus diperhatikan pengunjung karena ini yang terjadi pada kami, Anda bisa menolak saat mereka mau memakaikan topi/mahkota ke kepala Anda atau mengalungkan kalung di leher Anda, karena Anda akan dikenakan biaya untuk topi dan harus membeli kalung itu karena sudah menempel di leher Anda. Kecuali, tentu saja, kalau Anda tidak berkeberatan dengan hal itu. Harga yang ditawarkan lebih tinggi dari di toko tetapi Anda bisa menawar yang bahkan akhirnya bisa dibeli lebih murah dari harga toko.
Baiklah, sekarang akan saya ceritakan tentang mummy ini. Namanya Wim Motok Mabel. Mabel adalah namanya. Wim artinya perang dan Motok artinya panglima. Jadi Wim Motok Mabel bisa diartikan Panglima Perang Mabel. Sedangkan umurnya ternyata berbeda-beda disebutkan oleh Kepala Suku setiap ada pengunjung yang datang. Hal ini disampaikan oleh teman saya yang tinggal di Wamena dan sudah sering mengantarkan teman-teman kemari. Waktu kami berkunjung, Kepala Suku menyampaikan bahwa umur mumi ini adalah 373 tahun. Hal ini bisa diketahui dari kalung benang dari serat kayu yang setiap tahun ditambahkan di leher mumi. Mumi ini berada di Distrik Kerulu. Suku-suku di Lembah Baliem, termasuk Suku Dani dan Suku Paniai, mengawetkan mumi dengan cara sekujur tubuhnya dibalur dengan minyak babi dan diasapi selama 200 hari di dalam honai.
Saat menuju ke Distrik Kerulu, Anda akan disajikan pemandangan yang benar-benar indah. Serasa berada di negara empat musim. Padang rumput yang seluas mata memandang, perbukitan yang seolah-olah terlihat seperti di film 'Sound of Music', gradasi warna yang sungguh elok dan jarangnya rumah penduduk walau hanya beberapa jengkal saja dari kota, membuat saya harus berhenti berkali-kali untuk mengabadikan suasana ini. Semoga saja kata-kata di atas bisa mewakili apa yang saya rasakan saat itu.
Pasir putih ini terletak di Desa Aikima, di jalan yang menuju mummy di Distrik Kerulu. Lokasinya sangat gampang terlihat karena tidak jauh dari jalan raya. Pasirnya menutupi bukit di sela-sela bebatuan dan ditumbuhi rerumputan. Pasirnya berkilau diterpa sinar matahari dan tampak sangat mencolok dari kejauhan. Bak kristal mencorong berkilat dan bersinar. Sulit untuk melewati pasir putih ini tanpa menyadari keberadaannya. Benar-benar memukau. Setelah tiba di lokasi, Anda pun akan kembali dikejutkan dengan kehalusan pasir putih ini. Tidak terbantahkan untuk menjadikan lokasi pasir putih ini tempat tujuan wisata utama di Wamena.
Pengunjung bisa mendaki bukit ini sampai di pertengahan saja. Saat saya akan mendaki lebih lanjut untuk sampai ke puncak, saya dicegah oleh seorang anak kecil berusia sekira 12 tahun yang memberitahu agar saya jangan mendaki ke atas. Takutnya di atas ada orang-orang yang akan mengambil dompet, hape, dan barang-barang yang kita bawa. Alias dirampok. Nah lo.... Tentu saja saya menuruti apa yang dikatakan anak tersebut karena saya langsung menyadari bahwa anak kecil ini memang ditempatkan disini untuk menjaga para pengunjung. Kami ditarik retribusi limapuluh ribu saat memasuki area ini. Dan ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang mereka berikan selain juga menjaga kebersihan tempat ini. Patut diacungi jempol.
Anda bisa berkeliling, walaupun hal ini tidak diperbolehkan oleh panitia tetapi dilanggar oleh para wisatawan, ke honai-honai peserta yang dipersiapkan panitia untuk bersiap-siap sebelum tampil. Umumnya Anda bebas mengambil foto peserta yang sedang berkumpul, beristirahat, menari atau melakukan berbagai aktivitas lainnya. Tetapi Anda pun harus bersiap dengan uang sepuluh ribu dan bahkan lebih jika Anda berfoto dengan seseorang, terutama mama-mama yang juga membawa anaknya. Tidak apa-apa, jumlah yang dikeluarkan sangat sebanding dengan kepuasan yang Anda rasakan. Plus Anda ikut membantu perekonomian Papua yang memang membutuhkan dana besar untuk hidup.
Mummy
Ada enam mummy yang bisa dilihat di Wamena. Yang satu tidak jauh dari kota, yang lainnya cukup jauh. Kami memilih yang dekat-dekat saja dan memang ini yang paling terkenal. Dekat dan satu jalan dengan pasir putih dan mata air garam. Sayangnya ternyata mata air garam perlu persiapan dan sepatu gunung karena jalan terjal menanjak plus licin. Untuk melihat mummy ini ternyata butuh pengaturan khusus. Juga dana yang cukup besar tentunya. Untuk mengeluarkan mummy dari honai yang dibuat khusus untuk menyimpan, mereka meminta tiga ratus ribu rupiah. Untuk sekali pemotretan, satu orang, sepuluh ribu. Karena kami satu rombongan yang cukup besar sehingga kesulitan untuk menghitung berapa total pemotretan, akhirnya disepakati mengambil paket satu setengah juta rupiah.
Ada yang cukup mengejutkan saat pertama kita memasuki kampung ini. Begitu melihat ada tamu yang datang, mereka dengan sigap berganti pakaian memakai baju adat, menggelar dagangan di sepanjang jalan, dan mengerubungi kami bersiap untuk difoto. Saat difoto, satu hal yang harus diperhatikan pengunjung karena ini yang terjadi pada kami, Anda bisa menolak saat mereka mau memakaikan topi/mahkota ke kepala Anda atau mengalungkan kalung di leher Anda, karena Anda akan dikenakan biaya untuk topi dan harus membeli kalung itu karena sudah menempel di leher Anda. Kecuali, tentu saja, kalau Anda tidak berkeberatan dengan hal itu. Harga yang ditawarkan lebih tinggi dari di toko tetapi Anda bisa menawar yang bahkan akhirnya bisa dibeli lebih murah dari harga toko.
Baiklah, sekarang akan saya ceritakan tentang mummy ini. Namanya Wim Motok Mabel. Mabel adalah namanya. Wim artinya perang dan Motok artinya panglima. Jadi Wim Motok Mabel bisa diartikan Panglima Perang Mabel. Sedangkan umurnya ternyata berbeda-beda disebutkan oleh Kepala Suku setiap ada pengunjung yang datang. Hal ini disampaikan oleh teman saya yang tinggal di Wamena dan sudah sering mengantarkan teman-teman kemari. Waktu kami berkunjung, Kepala Suku menyampaikan bahwa umur mumi ini adalah 373 tahun. Hal ini bisa diketahui dari kalung benang dari serat kayu yang setiap tahun ditambahkan di leher mumi. Mumi ini berada di Distrik Kerulu. Suku-suku di Lembah Baliem, termasuk Suku Dani dan Suku Paniai, mengawetkan mumi dengan cara sekujur tubuhnya dibalur dengan minyak babi dan diasapi selama 200 hari di dalam honai.
Saat menuju ke Distrik Kerulu, Anda akan disajikan pemandangan yang benar-benar indah. Serasa berada di negara empat musim. Padang rumput yang seluas mata memandang, perbukitan yang seolah-olah terlihat seperti di film 'Sound of Music', gradasi warna yang sungguh elok dan jarangnya rumah penduduk walau hanya beberapa jengkal saja dari kota, membuat saya harus berhenti berkali-kali untuk mengabadikan suasana ini. Semoga saja kata-kata di atas bisa mewakili apa yang saya rasakan saat itu.
Pasir Putih
Pasir putih adalah keajaiban lain yang ada di Wamena. Mengapa ajaib? Karena biasanya kita menemui pasir putih adalah di pantai. Pantai yang berpasir putih jauh diminati daripada pantai yang berpasir hitam. Nah, pasir putih ini kita temui sangat jauh dari pantai, malah berada di ketinggian pegunungan. Konon, pada jaman dahulu lembah Baliem adalah sebuah danau purba, yang bernama Wio, yang tepiannya berpasir putih. Kemudian terjadi gempa bumi yang hebat yang mengubah geologi struktur muka bumi dan pergeseran yang menyebabkan terjadinya sungai yang meliuk-liuk di Lembah Baliem.Pasir putih ini terletak di Desa Aikima, di jalan yang menuju mummy di Distrik Kerulu. Lokasinya sangat gampang terlihat karena tidak jauh dari jalan raya. Pasirnya menutupi bukit di sela-sela bebatuan dan ditumbuhi rerumputan. Pasirnya berkilau diterpa sinar matahari dan tampak sangat mencolok dari kejauhan. Bak kristal mencorong berkilat dan bersinar. Sulit untuk melewati pasir putih ini tanpa menyadari keberadaannya. Benar-benar memukau. Setelah tiba di lokasi, Anda pun akan kembali dikejutkan dengan kehalusan pasir putih ini. Tidak terbantahkan untuk menjadikan lokasi pasir putih ini tempat tujuan wisata utama di Wamena.
Pengunjung bisa mendaki bukit ini sampai di pertengahan saja. Saat saya akan mendaki lebih lanjut untuk sampai ke puncak, saya dicegah oleh seorang anak kecil berusia sekira 12 tahun yang memberitahu agar saya jangan mendaki ke atas. Takutnya di atas ada orang-orang yang akan mengambil dompet, hape, dan barang-barang yang kita bawa. Alias dirampok. Nah lo.... Tentu saja saya menuruti apa yang dikatakan anak tersebut karena saya langsung menyadari bahwa anak kecil ini memang ditempatkan disini untuk menjaga para pengunjung. Kami ditarik retribusi limapuluh ribu saat memasuki area ini. Dan ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang mereka berikan selain juga menjaga kebersihan tempat ini. Patut diacungi jempol.
Hotel Jerman
Saat saya mau memasuki area hotel ini, teman saya berkata agar kami menyiapkan paspor dan surat-surat perjalanan kami karena kami akan melewati perbatasan dan memasuki wilayah Negara Jerman. Tentu saja ini hanya gurauan saja. Tetapi bisa ditanggapi secara serius setelah melihat tugu perbatasan seperti yang terlihat di foto. Jelas obyek foto yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Kami memerlukan berhenti sejenak untuk mengambil beberapa gambar in action.
Setibanya di hotel, mulut ini terbungkam rapat. Segala rasa penat dan pegal karena jalan terjal dan berlubang yang baru saja kami lewati seakan terbang lenyap terbawa angin sepoi-sepoi yang bertiup di pegunungan ini. Akal sehat ini seakan tak percaya ada pemandangan yang sebegitu indah terpampang di depan mata. Kaki ini seakan tak menginjak bumi, serasa berada di surga. Pengin sekali keindahan ini kusampaikan kepada pembaca melalui foto-foto yang kuambil. Sayang foto-foto yang kuambil tidak ada yang bisa mewakili keindahan yang sebenarnya.
Setibanya di hotel, mulut ini terbungkam rapat. Segala rasa penat dan pegal karena jalan terjal dan berlubang yang baru saja kami lewati seakan terbang lenyap terbawa angin sepoi-sepoi yang bertiup di pegunungan ini. Akal sehat ini seakan tak percaya ada pemandangan yang sebegitu indah terpampang di depan mata. Kaki ini seakan tak menginjak bumi, serasa berada di surga. Pengin sekali keindahan ini kusampaikan kepada pembaca melalui foto-foto yang kuambil. Sayang foto-foto yang kuambil tidak ada yang bisa mewakili keindahan yang sebenarnya.
Puncak Wamena
Mirip dengan kebanyakan kota-kota lain yang mengembangkan wisata secara serius, Wamena pun mempunyai spot untuk melihat ke arah kota. Letaknya tidak jauh dari kota ke arah jalan yang menuju Danau Habbema persis di depan markas jaga batalyon infanteri. Saya tidak tahu apakah memang diperlukan atau tidak tetapi jelas tidak ada salahnya meminta ijin untuk melihat-lihat tempat itu.
Perlu sedikit mendaki untuk mencapai gazebo yang berbentuk honai. Saya menyempatkan dua kali ke tempat ini. Pertama di siang hari saat terang benderang dan yang kedua malam hari, sayangnya saat sedang hujan rintik-rintik. Tentu saja hujan gerimis tidak menghalangi langkah saya dan juga teman-teman, yang bahkan sudah ada yang sepuh (kata sopan untuk tua), untuk melihat kota Wamena di waktu malam. Top markotop. Saran saya, bawa minuman panas sehingga bisa membuat badan hangat saat berada di gazebo.
Hebatnya lagi, di latar belakang, terpampang bukit yang di puncaknya terdapat satu salib besar. Seandainya dibuatkan dua salib lagi pasti kita akan langsung berpikir mirip dengan bukit Golgota tempat Nabi Isa disalibkan. Tapi satu saja memang sudah cukup apalagi ditambah dengan puluhan sapi yang sedang merumput di sekitarnya, bagai domba-domba yang sedang di gembala dari kejauhan. Lebih hebat lagi di sisi kiri terdapat lembah yang cukup curam dengan beberapa genangan air yang membentuk kolam. Ada beberapa sapi juga di tempat itu. Luar biasa.
Hebatnya lagi, di latar belakang, terpampang bukit yang di puncaknya terdapat satu salib besar. Seandainya dibuatkan dua salib lagi pasti kita akan langsung berpikir mirip dengan bukit Golgota tempat Nabi Isa disalibkan. Tapi satu saja memang sudah cukup apalagi ditambah dengan puluhan sapi yang sedang merumput di sekitarnya, bagai domba-domba yang sedang di gembala dari kejauhan. Lebih hebat lagi di sisi kiri terdapat lembah yang cukup curam dengan beberapa genangan air yang membentuk kolam. Ada beberapa sapi juga di tempat itu. Luar biasa.
Kali Wasi
Ke tempat wisata ini adalah edisi kesasar saat mencari lokasi Telaga Biru. Kesasar yang membawa hikmah. Sayangnya, mungkin karena sepi pengunjung. tempat wisata ini tutup. Tempat wisata Kali Wasi adalah wisata tepi sungai beraliran air yang sangat deras, yang berada di lembah, diapit dua bukit, dan dibuatkan taman yang, menurut saya, sangat serasi dan menyatu dengan lembahnya. Kalau tempat ini berlokasi di Jawa, dijamin pasti ramai. Airnya mengalir sangat deras sehingga pengunjung harus sangat berhati-hati untuk menikmati dinginnya air sungai ini. Juga berwarna coklat walapun saat saya raup dengan tangan terlihat jernih, karena partikel lumpur yang terbawa.
Untuk menuju tempat ini, Anda tinggal melewati lokasi FBLB sampai terlihat ada tanda tempat wisata ini. Juga melewati kampung muslim penduduk lokal. Sebenarnya ada juga lokasi air terjun tetapi selain lokasi agak sulit dijangkau dengan kendaraan roda empat, kami juga tidak ada waktu banyak untuk meluangkannya.
Untuk menuju tempat ini, Anda tinggal melewati lokasi FBLB sampai terlihat ada tanda tempat wisata ini. Juga melewati kampung muslim penduduk lokal. Sebenarnya ada juga lokasi air terjun tetapi selain lokasi agak sulit dijangkau dengan kendaraan roda empat, kami juga tidak ada waktu banyak untuk meluangkannya.
Telaga Biru
Saat saya mengunjungi telaga ini, ternyata area ini sudah tertutup bagi wisatawan sejak tahun 2016. Entah akan dibuka lagi untuk selanjutnya, walahuallam. Penutupan ini, menurut penunjuk jalan kami, didasarkan pada menjaga telaga ini tetap aman karena memang telaga ini dikeramatkan oleh penduduk setempat. Kita masih bisa melihat sedikit saja pinggiran telaga di tempat yang agak menyendiri, hanya kecil saja. Baiklah, saya mulai bercerita ya...
Untuk menuju Telaga Biru bagi wisatawan yang masih awam dengan Wamena bisa dijamin tak akan bisa menemukannya. Hanya dengan mengikuti petunjuk arah tanpa didampingi penunjuk jalan benar-benar sangat sulit. Kecuali saat Anda beruntung di tempat longsor luas, Anda bertemu ataui berpapasan dengan orang yang bisa memberi petunjuk jalan. Dan tahukan Anda tempat longsor luas yang dimaksud? Ternyata benar-benar sangat luas. Saya pernah melewati tempat yang mirip dengan ini di Halmahera tetapi tetap masih belum sebanding. Lebar area longsor yang harus dilewati kendaraan mungkin lebih dari satu kilometer. Luasnya jelas ribuan hektar. Anda lihat sendiri lah dari foto yang saya unggah.
Nah di area longsor ini kita harus berbelok ke arah jembatan kuning. Masalahnya yang dinamakan jalan saja hampir tidak terlihat. Jalan yang lurus masih terlihat dari tapak-tapak ban kendaraan tetapi yang berbelok tak tampak. Untungnya saya membawa penunjuk jalan yang sebenarnya saya bawa karena mendengar di daerah ini masih cukup rawan dengan pencegatan oleh penduduk lokal. Memang saat lewat sebelum sampai di tempat longsor kami sempat dicegat oleh orang yang tampak mabuk tetapi tidak ada masalah sama sekali. Ternyata penunjuk jalan ini sangat berguna saat menunjukkan jalan menuju Telaga Biru.
Untuk menuju Telaga Biru bagi wisatawan yang masih awam dengan Wamena bisa dijamin tak akan bisa menemukannya. Hanya dengan mengikuti petunjuk arah tanpa didampingi penunjuk jalan benar-benar sangat sulit. Kecuali saat Anda beruntung di tempat longsor luas, Anda bertemu ataui berpapasan dengan orang yang bisa memberi petunjuk jalan. Dan tahukan Anda tempat longsor luas yang dimaksud? Ternyata benar-benar sangat luas. Saya pernah melewati tempat yang mirip dengan ini di Halmahera tetapi tetap masih belum sebanding. Lebar area longsor yang harus dilewati kendaraan mungkin lebih dari satu kilometer. Luasnya jelas ribuan hektar. Anda lihat sendiri lah dari foto yang saya unggah.
Nah di area longsor ini kita harus berbelok ke arah jembatan kuning. Masalahnya yang dinamakan jalan saja hampir tidak terlihat. Jalan yang lurus masih terlihat dari tapak-tapak ban kendaraan tetapi yang berbelok tak tampak. Untungnya saya membawa penunjuk jalan yang sebenarnya saya bawa karena mendengar di daerah ini masih cukup rawan dengan pencegatan oleh penduduk lokal. Memang saat lewat sebelum sampai di tempat longsor kami sempat dicegat oleh orang yang tampak mabuk tetapi tidak ada masalah sama sekali. Ternyata penunjuk jalan ini sangat berguna saat menunjukkan jalan menuju Telaga Biru.
Festival Budaya Lembah Baliem , apa hnya di bulan agustus saja?
BalasHapusiya. setahu saya hanya di bulan agustus saja. tepatnya sekitar 3 hari di pertengahan bulan. hari ke4 biasanya karnaval, yang juga jangan dilewatkan.
Hapustanggalnya g tentu ya kak itu, kira2 tanggal berapa pertengahnya agustusnyapgn kesana pas gt
BalasHapusLucky Club Casino site | Live dealer casino sites
BalasHapusLucky Club is luckyclub.live a company that specializes in the manufacture and delivery of baccarat online. Our mission is to be the best baccarat online casino in our state!