Memancing Jayapura (02) : Harlem yang tidak kelam
Harlem, namanya mengingatkan tempat yang cukup seram di AS, adalah pantai indah yang terdapat di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua. Indah karena bersih. Bersih karena selalu dibersihkan oleh penduduk yang memang sudah berkomitmen dan sangat menyadari pentingnya menjaga lingkungan agar pengunjung tetap membludak setiap liburan. Membludak? ya memang pantai ini cukup ramai dikunjungi wisatawan pada hari Sabtu dan Minggu. Beberapa 'bule' juga nampak. Padahal untuk menuju pantai ini bukan hal yang mudah. Perjalanan sekira 60 km dari Kota Jayapura dengan jalan yang masih dalam tahap pengerasan dan pelebaran. Yang arti sebenarnya adalah (pada saat menulis ini lho) masih banyak berlubang, jembatan darurat, dan debu beterbangan. Sampai di Depapre pun masih harus menyewa kapal untuk antar-jemput karena pantai ini belum bisa ditempuh dari darat. Sewa kapal sekira 400 ribu rupiah untuk satu kapal bermuatan maksimal 10 orang.
Memancing di Harlem bukan berarti memancing dari Pantai Harlem tetapi memancing dari kapal atau di bagang. Kedua-duanya sudah aku lakukan. Yang pertama kali aku memancing dari perahu bercadik yang kami sewa tetapi tidak aku bahas karena lupa aku dokumentasikan padahal aku bawa kamera lho.... Nah yang aku tulis ini adalah perjalanan keduaku memancing di Harlem dengan menyewa bagang milik nelayan yang posisinya paling jauh dari pantai.
Tanggal 14 Mei 2016, aku, Gunawan, Agus Junaedi, Herpa dan Evo, memulai perjalanan ke Depapre menggunakan 2 mobil karena Evo hanya bisa menemani semalam saja sedangkan kami berencana memancing 2 malam. Setelah makan siang nasi padang di Depapre, kami memarkir mobil di bakal Dermaga Peti Kemas yang merupakan perwujudan prakarsa tol laut Jokowi (dan memang Jokowi pernah kemari, pas saat aku memancing yang pertama sebulan sebelumnya). Dengan menaiki perahu yang kami sewa, kami menuju bagang di depan Pantai Harlem. Sesampai di bagang, kami masih harus menunggu pemancing sebelumnya yang masih mengemasi barang-barangnya. Sambil menunggu, aku melangkahkan kaki ke ujung bagang. Saat hampir sampai di ujung, aku sempat melihat tiga bayangan hitam cukup besar melesat di bawahku. Saat itu yang terpikir di otakku adalah tuna untuk ikan sebesar itu. Tentu saja aku berteriak memberitahu teman-teman tetapi terlihat tidak ada yang percaya. Setelah beberapa saat baruaku sadar bahwa itu bukan tuna tetapi lumba-lumba. Dan untungnya besoknya apa yang aku lihat terbukti. Serombongan lumba-lumba bermain-main di permukaan laut tidak jauh dari bagang.
Setelah meyakini bahwa di bawah bagang banyak ikan-ikan ukuran cukup besar, ada yang sampai lebih selengan orang dewasa, aku langsung spearfishing. Tetapi ternyata kali ini bukan hari keberuntunganku. Setelah beberapa kali melepas shaft (anak panah besi) tali yang mengikatnya terlepas dan aku hanya menatap tertegun melihat shaft kesayanganku meluncur turun menuju kegelapan deep blue sea. Kata teman, dari perkiraan kail sampai dasar laut, kedalaman laut sekira 80 meter. Bye-bye shaft... Kau menemaniku lebih dari 5 tahun dan sekarang aku harus mencari gantimu.
Menjelang senja adalah saat yang spektakuler. Matahari terbenam dengan anggunnya. Bak raja yang meninggalkan singgasana dengan diiringi sangkakala menyemburatkan cahaya merah keemasan yang pelan-pelan menghilang seiring menghilangnya sang raja kembali ke peraduannya. Sayang tidak ada kekasih hati yang menemaniku saat ini. Belum datang maksudnya. Gitar yang pasti sangat tepat menemaniku dan bisa menyuarakan apa yang ada di hatiku. Tapi dipikir-pikir lagi, apa aku ikhlas membawa gitarku ke tempat ini ya? Hanya sekedar agar aku bisa ditemani dengan kemungkinan rusak karena udara dan air laut yang sangat merusak.
Alhasil, keesokan harinya aku hanya mengisi hariku dengan snorkling melihat ikan-ikan bersliweran di bawahku. Herannya, walaupun cukup banyak ikan tetapi tidak ada satu pun (ulangi : sama sekali tidak ada!) yang nyantol di ujung kail teman-temanku. Itu juga yang membuatku malas memancing kali ini. Karena di bagang ini tidak menunjukkan harapan, kami memutuskan untuk pindah ke bagang lain yang lebih dekat ke pantai dengan harapan mendapatkan ikan karang. Oh-ya ada yang terlupa... Kami menggunakan bagang ini karena saat memancing yang pertama, rombongan pemancing yang memancing di bagang ini mendapatkan ikan tuna sepanjang lebih satu meter, ikan tenggiri dan ikan barakuda.
Siang tanggal 15 Mei aku lewatkan di Pantai Harlem. Kebetulan juga ada rombongan teman-teman satu kantor yang juga sedang berwisata disini. Lumayan lah numpang makan dan minum. Hanya saja aku tidak sempat melihat-lihat kondisi pantai karena waktuku aku habiskan untuk eksplore kondisi bawah laut dengan snorkling. Pantai yang cukup luas, memanjang sekira tiga ratus meter dan landai sampai kedalaman lima meter sekira sejauh lima puluh meter. Selanjutnya langsung drop dengan kemiringan 60 derajat.
Berbeda jauh dengan kondisi pantai yang indah karena terjaga kebersihannya dan teduh dengan pasir putih menutupi pantai, kondisi bawah lautnya rusak parah. Sampai kedalaman 3-4 meter, terumbu karang masih terlihat cukup sehat dengan ikan-ikan karang sampai seukuran 3 jari menghuni di dalamnya. Tetapi begitu sampai di kedalam 5 meter terutama di pinggir tubir sampai mata tak sanggup melihat lagi, kondisinya benar-benar rata. Hanya satu dua onggokan terumbu karang yang masih mencoba survive. Bukan karena tidak ada tetapi karena hancur berkeping-keping. Apalagi penyebabnya kalau bukan bom? Aku mau menangis rasanya. Apa mereka tidak sadar kalau hal ini malah menghancurkan masa depan mereka sendiri? Yang aku tahu karena membaca atau melihat di televisi, orang Papua itu patuh dengan pemimpinya, ketua adat ataupun pemuka agama. Jadi kemana mereka? Padahal dari obrolan dengan nelayan setempat, aku pun tahu ada larangan-larangan adat di daerah ini seperti tidak boleh menangkap ikan di musim-musim tertentu yang dipatuhi penduduk sekitar dan juga oleh pengunjung tentunya.
Semoga saja saat diving nanti aku masih menemukan terumbu karang sehat di kedalaman lebih 5 meter di daerah ini. Semoga.
Menjelang sore kami kembali ke bagang dan langsung memindahkan barang-barang kami ke bagang lain. Sedikit waktu sebelum senja, aku sempatkan snorkling untuk mencari tahu apa ada ikan-ikan cukup besar yang lewat. Hasilnya? Nihil. Teman-teman pun konsentrasi hanya memancing ikan dasar saja.
Karena belum mendapatkan hasil, dari kemarin sampai siang ini kami makan nasi ditemani mie instan. Sedangkan buat malam, Herpa membeli ikan di pasar Depapre yang digoreng tepung dan dimakan dengan sambal kecap atau sambal saus. Sedap. Padahal aku sebenarnya sudah menyiapkan bahan-bahan untuk masak ikan kerapu tim.
Ternyata, menjelang tengah malam Bli Gus Jun yang memang pantang menyerah mendapatkan hasil. Kailnya mendapatkan ikan merah yang cukup besar. Hal ini langsung disambut dengan gairah oleh yang lain. Gunawan dan Herpa pun akhirnya mendapatkan juga ikan merah dan ikan kerapu. Hanya saja momen ini tidak berlangsung lama. Tidak sampai setengah jam kemudian, dengan bagang yang selalu berputar mengikuti arus, sudah mulai sepi lagi. Lumayan lah bisa mendapatkan tujuh ikan dengan ukuran sampai 1 kilogram.
Sekitar jam tiga aku terbangun, hanya mendapati sudah tak satupun teman-teman yang terjaga. Semua sudah meringkuk di dalam gubuk mencari kehangatan. He he... Met bobo teman2, met mencari kehangatan cinta masing2 ya....
Keesokan paginya, seperti biasa, ngopi dan sarapan sebelum bersiap-siap pulang. Sisa-sisa asa masih digunakan untuk mencoba mencari peruntungan di saat-saat akhir. Tapi sama saja. Nol. Dewi Fortuna belum berpihak dan belum ketiban pulung. Aku sendiri jelas tidak mau nibanin mereka lah. Orientasiku kan sangat normal. He he... ngeres.
Ok, perjalanan memancing di Harlem aku cukupkan sekian. Pasti aku akan ulas lagi dengan lebih seru setelah speargunku yang 120 cm tiba dan siap digunakan untuk menembak ikan-ikan sepanjang lengan itu. Sampai jumpa lagi di Harlem.
Komentar
Posting Komentar