Diving Jayapura (22) : Pantai Ame, Marilah kemari

Sabtu, 18 Maret 2017.

Berangkat dengan 2 mobil dari Jayapura jam 8.30, kami (Aku, Eka, Gunawan, Herpa, Dian dan Roy) singgah di Doyo untuk sarapan nasi padang. Dengan yakinnya Gunawan mengatakan bahwa untuk makan siang tidak perlu beli nasi bungkus dan aku iyakan saja. Sampai di dermaga kontainer, speedboat sudah menunggu sehingga kami langsung mengangkut barang-barang kami ke kapal. Setelah siap semua, kami segera menuju Pantai Ame (disebut juga Pantai Joan oleh kalangan wisatawan). Disana aku langsung disambut dengan akrab dan bersahabat oleh Pak Albert Esuwe. Aku memang sudah mengenal cukup baik beliau setelah beberapa kali bertemu. Oh-ya, aku sudah pernah berwisata dan menyelam disini dan kutulis di blog ini, hanya dulu tidak menginap.


Untuk lauk makan siang, aku, Herpa dan Roy melakukan spearfishing, Gunawan memancing. Eka tidur setelah memasang hammocknya. Untunglah dalam waktu cukup singkat kami berhasil mendapatkan dua ekor ikan dengan satu ikan kakatua cukup besar. Seperti biasa langsung dimasak kuah asam oleh Herpa, masterchef kita. Selesai makan, aku dan Eka langsung mempersiapkan alat-alat selam. 



Menyelam Sore Mencari Sarang Dugong dan Lumba-lumba

Pak Albert memberikan informasi bahwa terdapat spot lumba-lumba tidur di arah lurus dari pantai tepat di batas kedalaman. Menurutnya, mereka akan kembali ke sarangnya sekira jam empat sore. Masalahnya tubir menuju kedalaman ini aku tahu cukup jauh dari pantai. Tentu saja tidak ada salahnya aku mencoba dulu. Setelah mempersiapkan semuanya, cukup banyak yang aku bawa, ada tali untuk masuk gua, speargun untuk mencari lauk makan malam, dan kamera, jam 15.30 aku dan Eka menyelam dengan masuk dari pantai (beach entry).

Aku langsung menuju gua yang dulu pernah batal aku eksplore karena tidak membawa tali padahal arus cukup kuat. Sekarang aku sudah siap dengan tali plastik jemuran sepanjang 50 meter. Aku ikat ujungnya di batu karang yang cukup kokoh dengan botol mineral yang kuberi udara sebagai penanda seandainya aku ingin masuk lagi di gua ini nanti malam. Karena sudah membawa tali, aku dengan penuh percaya diri memasuki gua ini. Kondisi gua ini cukup banyak berubah dari saat aku dulu masuk karena ada batang pohon yang tersangkut diatas mulut gua yang membuat batu karang runtuh dan memangkas mulut gua dan karangnya menutupi separuh tinggi gua. Dengan runtuhnya atap gua yang kuperkirakan sepanjang lebih dua meter menjadikan gua ini sudah tidak terlalu dalam dan tidak gelap lagi.

Aku tetap masuk walaupun cukup riskan dengan adanya batang pohon yang masih bisa membuat longsor karang karena dinding dalam sudah terlihat. Sisi bagian dalam sebelah kiri hanya membuat lobang kecil sedalam dua meter. Sedangkan sisi kanan menembus gua lain dengan celah pas ukuran badan. Kupikir daripada balik lebih baik langsung eksplore saja gua sebelah sehingga celah sempit ini kumasuki juga. Aku hanya khawatir dengan Eka karena menggunakan BCD sehingga aku menunggu sampai Eka bisa lewat celah sempit itu. Di gua ini hampir tidak ada yang bisa dilihat, aku memutuskan langsung keluar apalagi aku harus menghemat udara karena masih harus menempuh perjalanan jauh.

Di mulut gua, tali yang memang sudah habis aku tindis dengan batu, berharap tidak melayang liar. Dari mulut gua ini aku langsung lurus saja ke depan menyusuri pinggiran bukit karang. Di kedalaman 17 meter ternyata tabungku tinggal 70 bar, padahal aku merasa tubir masih jauh sehingga aku memutuskan balik, safety first. Sambil balik aku mulai mencari ikan untuk bakal makan malam kami. Walaupun memang banyak ikan kakatua tetapi sangat susah didekati. Aku sudah hampir putus asa, dinding karang sudah terlihat, tanda sudah dekat pantai dan tabung tinggal 30 bar tetapi belum satu pun ikan kudapat. Ndilalah (bahasa Jawa, he he...), tiba-tiba lewat di depanku GT besar persis di depan speargun yang memang mengarah ke depan karena kedalaman tinggal 4 meter saja. Itulah nasib baik. Alhamdulillah.

Saat balik melewati celah adalah perjuangan berat melawan arus surut ke arah laut. Untung ikan sudah aku berikan Eka sehingga setelah kaki sudah tidak kuat lagi, aku memakai gaya gecko yang sukses mengantarkanku ke pantai. Alhamdulillah lagi. Diving kali ini aku melupakan mengambil gambar karena konsentrasi di gua, menuju kedalaman dan mencari ikan. Hanya video saat masuk gua saja. Itu pun hanya sebentar sampai sisi kiri gua pertama saja.

Snorkelling di Pantai Ame

Aku memang tidak ikut Herpa, Roy dan Dian bersnorkelling di pantai tetapi karena mereka mengabadikan aktivitas mereka di kamera, aku sertakan saja disini tanpa kuberi komentar. Biarlah foto-foto saja yang bercerita.






 

Menyelam Malam Sambil Mencari Lauk Untuk Sarapan

Saat surface interval, Roy sempat discovery dengan Eka memakai tabung baru, sehingga kami menggunakan tabung untuk menyelam malam yang sudah tidak penuh lagi. Sekira jam 18.15 kami kembali turun setelah matahari dipastikan tidak ada lagi sinarnya yang tersisa. Menyelam malam ini tidak banyak yang bisa kuceritakan karena hampir tidak ada creatures aneh yang kulihat. Jadi aku hanya mengabadikan beberapa ikan yang tidur, lobster dan udang kipas. Sedangkan untuk lauk, kami rasa cukuplah untuk besok pagi. Tentang udang kipas ini, aku memang mulai tertarik untuk mencoba menangkapnya karena ternyata di Papua ini aku banyak menemukan jenis ini he he....
 


Ternyata arus di celah masih kuat juga. Aku dan Eka yang menyusuri dasar untuk menghindari arus keluar malah kena arus bawah (down current). Aku harus mengerahkan sisa tenaga ditambah dengan gaya gecko yang sulit karena karangnya rata. Benar-benar bikin lututku serasa copot dan semalaman terasa nyeri.
 
Begitu kami naik, kami langsung disambut dengan bau ikan bobara yang sedang dibakar dan sudah hampir siap.  Gunawan, Roy, dan Dian dengan ditemani Pak Albert yang sedang mancing di lepas pantai langsung kami panggil dengan isyarat senter. Aku dan Eka mandi dulu di pancuran. Malam ini kami makan besar dengan ikan besar. Ternyata delapan orang hanya mampu makan satu sisi ikan bobara saja. Kupikir sayang juga ikan sesegar ini gak habis dimakan. Untunglah apa yang kupikirkan ternyata terbukti salah keesokan harinya. Sehabis makan saat jam sudah menunjukkan jam 21.30, tanpa ada ngobrol, kami langsung berpisah. Aku, Eka dan Dian langsung tidur. Gunawan, Herpa, dan Pak Albert memancing. Roy masih begadang.

 

Minggu, 19 Maret 2017 

Aku bangun jam 4 pagi dengan alarm ponsel sesuai janji dengan Pak Albert untuk pergi ke spot burung cendrawasih. Ternyata malah Pak Albert tidak kutemukan padahal Gunawan dan Herpa sudah balik. Setelah mencari sampai ujung pantai dan yakin memang tidak ada, aku membuat kopi dan nongkrong di pinggir pantai. Ngopi dan makan snack di pagi buta memang moy....

Jam hampir menunjukkan jam 5 saat aku melihat senter turun dari bukit. Aku langsung menebak bahwa itu Pak Albert. Ternyata benar dugaanku. Pak Albert ternyata pulang dulu ke rumah setelah balik dari mancing jam 3.30. Segera kubangunkan teman-teman dan kami bersiap berangkat.

Birdwatching - Burung Cendrawasih di Bukit Ame

Baru kali ini aku beraktivitas melihat burung di Tanah Papua, daerah yang mulai kucintai. Dengan dipandu oleh Pak Albert, aku, Dian, Eka dan Roy beranjak dari pantai sekira jam 5.15. Etape pertama sekira 15 menit cukup berat dengan menaiki bukit yang memakai istilah orang Papua seperti papan tulis. Maksudnya hampir tegak lurus lah. Aku yang paling terengah-engah dibanding yang lain. Bahkan Dian pun, aku tak melihat dia kelelahan. Hebat. Perjalanan selanjutnya cukup bersahabat dengan kontur landai dengan sedikit naik turun.

Saat sudah dekat dengan spot pemantauan, kami berhenti sebentar dan Pak Albert memberikan briefing singkat. Intinya adalah agar kita bertindak sesenyap mungkin. Selanjutnya kami langsung menuju lokasi yang ternyata tidak gampang untuk bergerak tanpa menimbulkan suara. Bahkan tetap saja suara yang ditimbulkan sangat berisik karena untuk menuju lokasi, jalan belum dibersihkan sehingga kami harus menginjak ranting dan semak belukar. Pak Albert yang tanpa menggunakan alas kaki mampu bergerak senyap dan beliau harus berkali-kali menekankan telunjuknya di bibir agar kita juga tidak menimbulkan suara.

Alhasil, kami hanya mampu mendengar kicauan Cendrawasih yang saling bersahutan dan sesekali melihatnya saat terbang. Entah mengapa burung ini tidak pernah hinggap lama di satu tempat. Paling hanya 3-5 detik saja. Aku tidak berhasil memotretnya. Begitu mau aku zoom, burung itu sudah terbang lagi. Aku merasa ada yang kena kuabadikan dari jauh tetapi ternyata setelah kucari di monitor tidak ada. Memang perlu kemari lagi tetapi lebih pagi dan dengan persiapan yang lebih baik.









Ada pohon Swang yang, konon, lebih kuat dari kayu besi. Kuabadikan. Ada juga sarang semut yang bisa digunakan untuk obat dan banyak dijual di Jayapura. Kuabadikan juga.




















Dan silakan dengar kicauan burung cendrawasihnya...



Begitu sampai di pantai lagi ternyata ombak sangat besar. Roy dan Dian yang ingin mencoba discovery terpaksa dibatalkan. Risikonya terlalu besar. Gunawan ternyata sudah memancing lagi. Eka langsung melanjutkan tidur. Dian dan Roy menghabiskan ikan bobara semalam tanpa perlu dipanaskan. Mantap!!! I admire them. Kepalanya dan remah-remah daging dihabiskan Pak Albert. Aku sendiri ngobrol dengan Pak Albert. Aku sendiri juga membatalkan penyelaman yang ketiga karena lututku sudah terasa sangat nyeri.










Sekira jam 1 siang setelah semua barang-barang siap diangkut, kapal kembali menuju pantai setelah sebelumnya harus lepas sauh di tengah karena ombak besar. Segera kami angkat dan masukkan ke kapal dan segera pula berangkat saat jeda ombak. Di perjalanan pulang ternyata kami mampir makan lagi di warung yang sama seperti sehari sebelumnya. Mantap.

Pak Albert, kapan-kapan kami kemari lagi ya.... 
My Live My Adventure!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan-jalan Manokwari (1) : Kesan pertama sangat menggoda

Memancing Jayapura (02) : Harlem yang tidak kelam

Memancing Jayapura (05) : PLTU Holtekamp; seperti pasar malam