Jalan-jalan Jayapura (01) : Papua Nugini, sebentar saja berkendara
Bepergian ke negeri jiran tanpa perlu paspor, tidak ribet, dan tidak perlu perjalanan jauh dari kota besar, dengan didukung fasilitas jalan yang sudah mumpuni, silakan datang ke Jayapura. Mantap !!!Kota Jayapura sebagai ibukota Propinsi Papua memang cukup dekat dengan garis batas wilayah Papua Nugini.
Tidak diperlukan persiapan khusus untuk bepergian kali ini. Perjalanan ini pun sebenarnya utamanya tidak ke perbatasan. Temanku, Gunawan, yang punya hobi mancing, ingin ikut lomba mancing galatama yang diadakan di Kota Arso, tepatnya Arso Barat. Daerah ini memang banyak tempat mancingnya. Tetapi lebih baik aku bahas tersendiri saja kapan-kapan untuk perjalanan wisata memancing di Arso. Nah, karena aku tidak terlalu suka memancing di kolam pemancingan, apalagi untuk lomba, maka aku memutuskan ke perbatasan saja. Daripada menunggu orang mancing berjam-jam plus daripada menganggur di rumah juga.
Berangkat dari rumah hari Minggu, tanggal 22 Mei 2016 jam 10, dengan kondisi badan masih lelah sisa memancing di Danau Sentani sehari sebelumnya. Perjalanan ke Arso ditempuh dalam waktu sekira satu jam. Ditemani pemandangan indah Teluk Jayapura dan cuaca cerah alias panas terik. Kami bertiga, aku, Andi dan Gunawan. Andi akan menemaniku ke perbatasan. Lumayanlah, karena Andi bersedia pegang kemudi. He he...
Tidak sampai satu jam berkendara dengan kecepatan sedang, kami sudah memasuki daerah Skouw yang merupakan daerah perbatasan. Konon pas hari pasaran, kota ini cukup hidup, persisnya pasar Skouw yang dipenuhi pedagang dari Indonesia dan pembelinya dari Papua Nugini. Sayang hari ini hari Minggu. Hari dimana kota-kota di Papua serasa kota mati karena warganya beribadah di Gereja. Masuk ke Skouw, Andi harus lapor dan menyerahkan KTP. Sebagai kota perbatasan Skouw terlihat sekali melakukan pembangunan besar-besaran. Mungkin akibat efek Jokowi. Semoga. Padahal penduduk Skow sebagian besar ya prajurit TNI dan karyawan-karyawan yang memang bekerja disana seperti imigrasi, kontraktor, dan lain-lain.
Mobil diparkir persis di dekat pagar perbatasan tidak jauh dari bangunan Dispela Monument, yang tidak sempat aku lihat dekat dan bangunan tinggi mirip mercusuar yang gunanya jelas untuk pengamatan jauh. Di mercusuar terikat Bendera Merah Putih besar, mungkin yang paling besar yang aku pernah lihat. Sayang sedang tidak berkibar.
Tanpa membuang waktu lama, segera kami melangkahkan kaki ke gapura yang digunakan sebagai pintu keluar masuk wilayah perbatasan.Gerbang ini dijaga oleh dua prajurit TNI yang dengan ramah mempersilakan kami untuk langsung saja memasuki wilayah garis demarkasi. Sebenarnya gerbang Papua Nugini langsung berhadapan dengan gerbang Indonesia dengan dipisah garis demarkasi selebar 20 meter. Tetapi gerbang Papua Nugini ditutup dan kelihatannya selalu tertutup. Kita harus ke arah kanan dan memasuki bangunan pemeriksaan imigrasi yang kenyataannya kosong melompong. Entah mungkin karena hari Minggu ya...
Entah hanya perasaan saja, tetapi aku dan Andi punya perasaan yang sama bahwa suasana memang sudah berbeda. Aura berada di luar negeri terasa. Padahal toh alamnya sama saja. Mungkin karena plat nomor dari mobil yang terparkir sudah berbeda. Mungkin suasana teratur, karena tak terlihat satu pun petugas imigrasi maupun staf keamanan Pemerintah Papua Nugini dan sama sekali tidak ada pembangunan.
Tak jauh dari pintu keluar/masuk, terdapat terminal kecil dan terlihat beberapa calon penumpang yang sedang menunggu angkutan. Walaupun ternyata sampai kami balik lagi, angkutan tetap belum muncul. Di seberang terminal terdapat beberapa warung yang menjual pernak-pernik khas Papua Nugini. Yang paling banyak adalah kaos bola dengan corak dan tulisan Papua Nugini. Aku sendiri membeli topi bertuliskan sama dan mencicipi Coca-cola dan sosis seharga @ Rp 25.000,-. Minuman semahal itu karena made-in Papua Nugini sedangkan yang buatan Indonesia dihargai Rp 10.000,-
Setelah cukup puas menikmati pemandangan, kami pun balik lagi ke Indonesia (he he... kayak gimana gitu...). Dan kami sempatkan ambil foto di depan gerbang kedua negara juga bercakap-cakap dengan aparat TNI penjaga perbatasan yang bersenjatakan senapan serbu buatan negeri tercinta Indonesia. Ternyata salah satunya berasal dari Magelang, kota kelahiranku.....
Masih di Skouw, tidak jauh dari pintu masuk, terdapat semacam perumahan yang terlantar. Rumah yang terbuat dari kayu pilihan, terkesan sederhana tetapi indah, dan itu tadi... diterlantarkan. Rumput-rumput liar sudah meninggi, jalan lingkungan sudah hancur tak berbekas, padahal jelas terlihat perumahan ini sudah siap huni. Entah mengapa malah dibiarkan rusak karena tak terurus.
Ada juga yang lucu dalam perjalanan. Tentang nama tempat, seperti terlihat di foto penunjuk arah, "Skouw Mabo". yang bisa diplesetkan menjadi 'mabuk sakaw'. Ada-ada saja.
Begitulah perjalanan ini kuakhiri... Ceile...
Ada juga yang lucu dalam perjalanan. Tentang nama tempat, seperti terlihat di foto penunjuk arah, "Skouw Mabo". yang bisa diplesetkan menjadi 'mabuk sakaw'. Ada-ada saja.
Begitulah perjalanan ini kuakhiri... Ceile...
Komentar
Posting Komentar