Jalan-jalan Biak (03) : Yang indah-indah dari Serui

Edisi kali ini adalah jalan-jalan menumpang teman yang dinas ke Serui. Dua hari menemani teman berkunjung ke perusahaan plywood, aku memisahkan diri dan berwisata ke kota Serui. Kota yang berpotensi mengembangkan wisata alam dan bahari secara maksimal karena didukung dengan sumber daya alam yang melimpah ruah dan indah tiada tara. Beginilah ceritaku di Serui....

Perjalanan awal dari Kota Biak menuju Dawai menggunakan speedboat dari perusahaan. Begitu juga dari Dawai menuju Serui. Aku langsung bercerita tentang Serui. 

Kami berlabuh di Dermaga Pantai Cina Tua. Aneh namanya, tetapi itulah kenyataannya. Aku sebenarnya diberitahu mengapa disebut seperti itu tetapi koq ya lupa.... dasar pikun. Mungkin karena sudah cukup lama jarak antara perjalanan ke Serui dan menuliskannya di blog ini.



Tanjung Poin


Begitu menginjakkan kaki di Pulau Yapen ini, aku tidak membuang waktu langsung jalan-jalan menuju tanjung  yang tidak jauh dari kota, di sisi kanan teluk. Aku baru sadar kalau bukit yang dituju berbentuk tanjung setelah tiba di puncak bukit. Di sisi kiri membentuk teluk besar dengan Kota Serui di pangkalnya. Sisi kanan berbentuk teluk kecil dengan ada kampung nelayan di pangkalnya. Teluk kecil ini menyajikan pemandangan indah luar biasa. Di puncak bukit ini sedang dibangun semacam tugu atau monumen terbuat dari rangka besi. Mungkin, bisa saja, berbentuk salib. Sampai dengan berakhirnya liburan di Serui, Aku tidak sempat (lebih tepatnya lupa) menanyakan bentuk monumen itu.










Kota Serui


Perjalanan dilanjutkan dengan keliling kota, mengenal lebih dekat kota Serui. Kata orang, berada di Serui serasa di eropa, di Perancis tepatnya. Aku sih mangut-mangut saja,  Lha wong ke Eropa saja belum pernah, apalagi ke Perancis. Kecuali panasnya yang sepanjang tahun menyengat kulit dibanding di Eropa yang hanya di musim panas saja. Itu pun aku juga meragukan membandingkan kondisi pasar di Serui dan di Eropa.







Selain di pasar dan sekitarnya, Serui cukup lengang dengan tidak banyak mobil dan motor yang bersliweran. Apalagi yang jalan kaki di panas terik siang hari, bisa dihitung dengan jari. Mungkin ini yang disejajarkan dengan suasana di Eropa. Di kota kecil tentunya. Tenang, aman dan damai.

Yang jelas aku sangat setuju dengan pendapat banyak orang bahwa orang Serui banyak yang ganteng dan cantik karena berasimilasi dengan pendatang bangsa Cina jaman dahulu kala. Mantap.






 




Danau Borobudur

Ini lagi. Namanya Danau Borobudur. Atau lebih tepatnya danau yang dilihat dari sisi Borobudur. Apa itu Borobudur? Boroudur itu batu yang menyerupai batu di Candi Borobudur. Nah lo.... Tidak usah dipikirkan. Terima saja penamaan itu. Dan apa benar danau? Bukan. Lebih tepatnya itu teluk yang memiliki mulut yang sempit sehingga menyerupai danau. Indah? Sangat indah, itu lebih tepat. Sayangnya tidak dibuatkan tempat khusus untuk menikmati pemandangan yang indah ini. Kita memarkir mobil di pinggir jalan dengan sebagian badan mobil masih masuk ke jalan.

Agar aman dan lebih leluasa melihat ke arah danau, kita bisa berdiri diatas tembok menyerupai tanggul pembatas yang berguna untuk menghalangi kendaraan nyelonong terjun ke jurang. Dari foto yang aku tampilkan kita bisa melihat beberapa gradasi warna yang cukup mencolok yang bisa kita ambil dari beberapa tempat yang berbeda. Sebenarnya perbedaan warna menandakan perbedaan kedalaman danau.







Pantai Sarawandori

Kalau kita teruskan perjalanan sekira 200 meter dari perhentian di Borobudur, kita akan menemui tugu 'Selamat Datang Di Kampung Sarawandori". Silakan Anda masuk saja. Tidak usah ragu-ragu karena Anda akan menemui pantai nan cantik plus jelita. Untuk mencapai Pantai Sarawandori, kita melewati dua kampung yang pada saat aku lewati suasananya cukup sepi. Penduduknya sangat ramah sehingga kita merasa diterima dengan tangan terbuka.

Saat menuju pantai dikagetkan dengan kemunculan burung kasuari di jalan kampung. Aku langsung sadar kalau burung besar dan terlihat menyeramkan ini adalah burung peliharaan yang sudah jinak. Tetap saja aku deg-degan saat berdekatan dengan burung ini, melihat kakinya yang berotot dan cakarnya yang besar dan sangat tajam. Wow.....  oleh penduduk dengan seenaknya ditabok dan diusir agar tidak menghalangi jalan kendaraan kami.

Kami tiba di pantai dan ternyata pantai ini menyajikan pemandangan yang baru bagi aku. Paling tidak aku belum pernah bertemu dengan pantai seperti ini sebelumnya. Apanya yang beda? Pantai ini hanya menyediakan tanah selebar tak lebih dari lima belas meter dengan panjang sekira seratus meter. Diakhiri dengan semacam tanjung. Dibatasi dengan bukit yang berdiri mirip tembok karena hampir tegak lurus. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, ada banyak juga yang mirip ini. Apalagi yang tak diekspose, seperti di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Pantainya bersih, rindang dan diberi beberapa gazebo untuk tempat istirahat bagi wisatawan. Aku tidak tahu apakah memasuki pantai ini dan menggunakan gazebo ditarik bayaran, karena tidak ada pengunjung lain selain kami dan kami tidak ditarik bayaran. Hanya saja kami menduga mengapa kami tidak ditarik bayaran karena kami menggunakan kendaraan berpelat merah alias mobil dinas.







Dermaga Ferry











Pantai Cina Tua

Entah mengapa aku terlewat mengabadikan tempat indah ini di waktu malam. Padahal aku melewatinya beberapa kali. Hanya saja tidak bisa parkir. Bahkan yang siang saja aku hanya mengambil foto dari sisi laut saja. Mungkin sedang ada setan yang lewat menutupi jalan pikiran sehat aku saat itu. Skip it.

Pantai Cina Tua, konon diberi nama seperti ini sudah dari jaman dahulu kala, sudah tidak ada yang ingat mengapa diberi julukan yang terasa aneh ini. Yang jelas pantai ini dibuat untuk wisata kongkow dan duduk-duduk seperti di kota-kota yang memiliki tempat seperti ini seperti Losari di Makassar.






Pelabuhan Serui










Bandara Stevanus Rumbewas


Untuk kota dan daerah sekecil ini mempunyai bandar udara sendiri sudah mendapatkan kredit poin sendiri. Selain ke Biak, Jayapura adalah tujuan lainnya. Maskapainya pun ada dua, Nam Air dan Susi Air. Karena hanya ada dua penerbangan setiap harinya dan di jam-jam yang berdekatan, bisa dimaklumi kalau bandara yang jaraknya cukup jauh dari kota, sekira satu jam perjalanan, hanya buka sebentar saja.

Bandara Stevanus Rumbewas kecil saja tetapi tetap dibekali dengan standar bandara berupa x-ray dan pemeriksaan badan. Didukung juga dengan deretan warung yang bukanya mengikuti jam buka bandara. Aku sempat ngopi dan makan mie instan di salah satu warung ini. Oh-ya.... pemilik dan yang melayani kami adalah suku asli Papua Serui. Nah siapa bilang suku asli hanya berjualan pinang saja? Ini buktinya. Di Jayapura pun berjualan kelapa muda di Skyline kan?






Begitulah ceritaku yang seru di Serui, Kabupaten Yapen yang indah menawan.
Serui 0h Serui..... Kuingin kembali mendatangimu.... Semoga....

So..... this is it. My Live My Adventure....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan-jalan Biak (02) - Kota Biak (01), pembuka saja...

Jalan-jalan Jayapura (09) : Pesawat Terbang mejeng di Koya Timur

Jalan-jalan Manokwari (1) : Kesan pertama sangat menggoda